Pernahkah Anda menonton film “12 Years a Slave”? Film terbaik Oscar 2014 ini mengisahkan Solomon Northup, seorang berkulit hitam merdeka yang diculik dan dijual sebagai budak selama 12 tahun. Film ini bukanlah film yang menyenangkan untuk dilihat, banyak siksaan dan ketidakadilan yang diterima Northup dan teman – temannya, namun memberi pelajaran mendalam tentang berharganya kemerdekaan bagi setiap orang.
Saat saya melihat ke belakang terkait proses Ph.D. saya, mau tidak mau saya melihat kilasan yang mirip dengan film ini. Mungkin tidak seperti kebanyakan kisah mahasiswa Ph.D. lain yang berhasil dengan gemilang, sekitar 6 tahun saya menjalani proses Ph.D. saya dengan kesulitan yang mewarnai hampir setiap tahapannya. Kadang saya merasa seperti Northup yang bertahun – tahun hidup dalam situasi “diperbudak”.
Why it feels like a slavery
Sebelum Anda menyebut saya lebay dan kurang bersyukur, berikut penjelasan saya.
Banyak kesulitan
Dalam posting – posting sebelumnya saya menceritakan beberapa kesulitan yang saya hadapi dalam studi:
- Saya terlambat berangkat studi 1 semester dibanding rekan – rekan saya yang melamar beasiswa pada periode yang sama. Total saya menghabiskan sekitar 16 bulan untuk keseluruhan proses mendapatkan beasiswa.
- Di tahun pertama, saya gagal di ujian konfirmasi (sidang proposal). 3 bulan kemudian saya harus menjalani ujian ulang, dan baru bisa dinyatakan lulus.
- Saya harus dengan konstan melawan rasa minder, menyesuaikan diri dengan natur mahasiswa Ph.D., dan beradaptasi dengan profesor. Selain itu, saya menghadapi masalah besar dengan kesehatan anak saya.
- Setelah 4 tahun, saya harus pulang ke Indonesia tanpa gelar. Hal yang paling sulit ialah menemukan motivasi untuk menyelesaikan studi PhD. Setelah hampir menyerah karena kembali gagal submit, bersyukur akhirnya saya bisa submit di akhir semester 10.